Mengenai Saya

Welcome

Di blog Wisnu Adityawarman,, blog simple yang berisi kumpulan data perkuliahan yang saya pelajari di bidang Administrasi Negara..

Untuk Teman2 yang ingin berbagi data atau yang ingin meng-copast artikel yang ada dalam blog ini, diharapkan mencantumkan alamat permalink yang saya miliki.. Dengan format.. adityawarman, wisnu, tahun, judul artikel, permalink.

Contoh : Adityawarman, Wisnu, 2010, Privatisasi BUMN, diunduh dari http://wisnuadityawarman.blogspot.com/2010/09/04/privatisasi-bumn/

thank u

Cari Blog Ini

Kamis, 30 September 2010

 

[2010]

 

 

PRIVATISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)

Makalah ini ditujukan Untuk Melengkapi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keuangan Negara

[Privatisasi]

[ Privatisasi adalah pemindahan kepemilikan aset-aset milik negara kepada swasta dan asing (Mansour: 2003). Namun Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN mempercantik makna privatisasi dengan menambahkan alasan dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham masyarakat.]


 


 

OLEH : R. PANDJI WISNU. A

BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Komite Privatisasi memutuskan menerima usulan Kementerian BUMN untuk memprivatisasi 37 Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN yang diprivatisasi mencakup 34 BUMN yang baru memasuki program privatisasi tahun 2008 dan 3 BUMN yang privatisasinya tertunda di tahun 2007. BUMN-BUMN ini akan diprivatisasi melalui penawaran saham perdana
(IPO) di pasar modal dan penjualan langsung kepada investor strategis (strategic sales) yang ditunjuk oleh pemerintah (Bisnis Indonesia, 5/2/2008). Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu menyatakan Kementerian BUMN siap melepas seluruh saham pemerintah pada 14 BUMN sektor industri (Bisnis Indonesia Online, 25/1/2008) sedangkan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil menyatakan pemerintah akan menjual 12 BUMN kepada investor strategis (Bisnis Indonesia, 21/1/2008) dari 37 BUMN yang diprivatisasi.

BUMN yang diprivatisasi antara lain: Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makassar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma, BNI Persero, Adhi Karya, PT Asuransi Jasa Indonesia, BTN, Jakarta Lloyd, Krakatau Steel, Industri Sandang, PT Inti, Rukindo, dan Bahtera Adi Guna, Kemudian, PT Perkebunan Nusantara III, PT Perkebunan Nusantara IV, PT Perkebunan Nusantara VII, dan Sarana Karya, Semen Batu Raya, Waskita Karya, Sucofindo, Surveyor Indonesia, Kawasan Berikat Nusantara, Pembangunan Perumahan (melalui IPO), Kawasan Industri Surabaya, dan Rekayasa Industri. Yodya Karya, Kimia Farma dan Indo Farma (keduanya mau merger), PT Kraft Aceh, PT Dirgantara Industri, Boma Vista, PT Barata, PT Inka, Dok Perkapalan Surabaya, Dok Perkapalan Koja Bahari, Biramaya Karya, dan Industri Kapal Indonesia (Kominfo Newsroom, 21/1/2008).

Keputusan pemerintah melakukan privatisasi besar-besaran sangat mengejutkan. Sebab belum pernah privatisasi dilaksanakan sebanyak 37 BUMN sekaligus dalam setahun. Sejak kebijakan privatisasi dimulai pada tahun 1991, privatisasi terbesar menimpa 4 buah BUMN dalam satu tahun.

Privatisasi paling menghebohkan terjadi pada tahun 2002 ketika pemerintah menjual 41,94% saham Indosat kepada Singapura dengan harga obral US$ 608,4 juta. Padahal tahun tersebut Indosat baru saja membeli 25% saham Satelindo dari De Te Asia senilai US$ 350 juta. Dengan pembelian tersebut kepemilikan Indosat atas Satelindo genap 100% dengan nilai perkiraan US$ 1,3 milyar. Di samping memiliki Satelindo, Indosat juga mempunyai anak perusahaan IM3, Lintasarta, dan MGTI. Pada tahun 2001 penerimaan negara dari pajak dan deviden Indosat mencapai Rp 1,4 trilyun. Jadi dari sisi finansial saja pemerintah Indonesia sangat dirugikan (Hidayatullah: 2002).

Sejak awal privatisasi Indosat sudah tidak transparan. Singapura yang menawar Indosat melalui salah satu sayap bisnis BUMNnya, Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT)  ditetapkan sebagai pemenang. Anehnya, ketika penandatangan persetujuan pembelian saham Indosat, nama pembeli yang muncul bukannya STT melainkan Indonesia Communications Limited (ICL) yang berkedudukan di Mauritius, sebuah negara yang menjadi surga pencucian uang. Kepada Metrotv (29/12/2002) Gus Dur mensinyalir adanya komisi 7 persen atau sekitar 39 juta dolar dari total nilai penjualan yang masuk ke kas PDI-Perjuangan untuk pemenangan pemilu pada tahun 2004 (Hidayatullah: 2002).

Belajar dari kasus privatisasi Indosat, kemungkinan obral besar-besaran BUMN tahun ini merupakan upaya untuk menggalang dana pemenangan pemilu 2009 bisa saja terjadi. Semestinya masyarakat mulai sekarang mewaspadai pengompasan harta negara oleh oknum-oknum rakus dan tamak. Jika tidak, di tengah kesulitan hidup masyarakat saat ini, aset negara terus menyusut sementara asing semakin menguasai negeri ini.

Keputusan pemerintah melakukan privatisasi besar-besaran tahun 2008 ini sangat mengejutkan. Sebab belum pernah ada ceritanya, ada privatisasi 37 BUMN sekaligus dalam setahun! Benar-benar gila dan ugal-ugalan.  Sejak kebijakan privatisasi dimulai tahun 1991, privatisasi terbesar "hanya" menimpa 4 buah BUMN dalam satu tahun. Lalu bagaimana fakta dan kebohongan di balik privatisasi BUMN di Indonesia ? Artikel berikut akan menjelaskannya.


 


 

BAB II Pembahasan

Privatisasi di Indonesia

Kebijakan privatisasi dari tahun 1991 hingga tahun 1997 dilakukan dengan penjualan saham perdana di pasar modal dalam negeri dan pasar moda luar negeri. Tahun 1991 pemerintah menjual 35% saham PT Semen Gresik kemudian dilanjutkan pada tahun 1994, pemerintah menjual 35% saham PT Indosat. Tahun 1995, pemerintah menjual 35% saham PT Tambang Timah dan 23% saham PT Telkom, tahun 1996 saham BNI didivestasi 25% dan tahun 1997 saham PT Aneka Tambang dijual sebanyak 35% (www.bumn-ri.com).

Kebijakan privatisasi pada masa Orde Baru ini dilakukan untuk menutupi pembayaran hutang luar negeri (HLN) Indonesia yang jumlahnya terus membengkak. Tahun 1985 HLN pemerintah sudah mencapai US$ 25,321 milyar. Pada tahun 1991 jumlah HLN pemerintah membengkak dua kali lipat menjadi US$ 45,725 milyar. Jumlah HLN pemerintah terus bertambah hingga tahun 1995 mencapai US$ 59,588 milyar. Pemasukan dari hasil privatisasi BUMN tahun 1995-1997 yang digunakan pemerintah untuk membayar HLN dapat menurunkan HLN pemerintah menjadi US$ 53,865 milyar pada tahun 1997 (Hidayatullah: 2002).

Sejak ekonomi Indonesia berada dalam pengawasan IMF, Indonesia ditekan untuk melakukan reformasi ekonomi (program penyesuaian struktural) yang didasarkan pada pemikiran ekonomi Kapitalisme-Neoliberal. Reformasi tersebut meliputi: (1) intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimumkan, (2) swastanisasi perekonomian Indonesia seluas-luasnya, (3) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi, (4) memperbesar dan memperlancar arus masuk modal asing dengan fasilitas yang lebih besar (Sritua Arief: 2001).

Di bawah IMF, Indonesia dipaksa mengetatkan anggaran dengan pengurangan dan penghapusan subsidi, menaikkan harga barang-barang pokok dan public utilities, peningkatan penerimaan sektor pajak dan penjualan aset-aset negara dengan memprivatisasi BUMN. Program privatisasi yang sudah dijalankan Orde Baru dilanjutkan lagi dengan memperbanyak jumlah BUMN yang dijual baik di pasar modal maupun kepada investor strategis. Tahun 1998 pemerintah kembali menjual 14% saham PT Semen Gresik kepada perusahaan asing Cemex. Tahun 1999 pemerintah menjual 9,62%. saham PT Telkom, 51% saham PT Pelindo II kepada investor Hongkong, dan 49% saham PT Pelindo III investor Australia. Tahun 2001 pemerintah kembali menjual 9,2% saham Kimia Farma, 19,8% saham Indofarma, 30% saham Socufindo, 11,9% saham PT Telkom. Antara tahun 2002-2006 privatisasi dilanjutkan dengan menjual saham 14 BUMN dengan cara IPO dan strategic sales (www.bumn-ri.com).

2.1 Kebohongan Privatisasi

Privatisasi adalah pemindahan kepemilikan aset-aset milik negara kepada swasta dan asing (Mansour: 2003). Namun Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN mempercantik makna privatisasi dengan menambahkan alasan dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham masyarakat. Berdasarkan pengertian privatisasi dalam undang-undang BUMN, visi Kementerian Negara BUMN tentang privatisasi adalah "Mendorong BUMN untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan guna menjadi champion dalam industrinya serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan sahamnya" (www.bumn-ri.com). Sementara itu dalam program privatisasi tahun ini alasan yang dikemukakan oleh Sofyan Djalil adalah: "Privatisasi BUMN dilakukan tidak untuk menjual BUMN, melainkan untuk memberdayakan BUMN itu sendiri, sehingga akan menjadikan BUMN lebih transparan dan dinamis" (Kominfo Newsroom, 21/1/2008).

Privatisasi tidak semanis apa yang digambarkan dalam visi Kementerian Negara BUMN seperti pada poin meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN. Sekilas masyarakat luas dilibatkan dalam kepemilikan BUMN, padahal kita tahu bahwa yang dimaksud masyarakat bukanlah pengertian masyarakat secara umum, tetapi memiliki makna khusus yaitu investor.

Sebagaimana metode privatisasi BUMN dilakukan dengan IPO dan strategis sales, maka yang membeli saham-saham BUMN baik sedikit ataupun banyak adalah investor di pasar modal apabila privatisasi dilakukan dengan cara IPO, dan investor tunggal apabila privatisasi menggunakan metode strategic sales. Investor di pasar modal maupun investor tunggal bisa berasal dari dalam negeri atau dari luar negeri. Sementara yang dimaksud investor itu sendiri adalah individu yang melakukan investasi (menurut situs www.investordictionary.com, investor didefinisikan sebagai: An individual who makes investments). Jadi tidak mungkin privatisasi akan menciptakan kepemilikan masyarakat, sebab kehidupan masyarakat sudah sangat sulit dengan mahalnya harga-harga barang pokok, pendidikan, dan kesehatan, bagaimana bisa mereka dapat berinvestasi di pasar modal. Apalagi hingga akhir tahun 2007 investor asing menguasai 60% pasar modal Indonesia sehingga memprivatisasi BUMN melalui IPO jatuhnya ke asing juga. Sedangkan investor lokal, mereka ini juga kebanyakan para kapitalis yang hanya mengejar laba, apalagi konglomerat-konglomerat yang dulu membangkrutkan Indonesia sudah banyak yang comeback.

Menurut Dr. Mansour Fakih (2003) dalam bukunya Bebas dari Neoliberalisme, istilah privatisasi biasa dibungkus dengan istilah dan pemaknaan yang berbeda-beda. Misalnya, privatisasi perguruan tinggi negeri (PTN) dibungkus dengan istilah otonomi kampus, dan istilah privatisasi BUMN dimaknai sebagai meningkatkan peran serta masyarakat. Tujuan pembungkusan istilah dan makna privatisasi ini adalah untuk mengelabui pandangan publik. Pernyataan Sofyan Djalil bahwa privatisasi BUMN bukanlah untuk menjual BUMN melainkan untuk memberdayakan BUMN adalah pernyataan konyol dan menyesatkan. 

Sementara itu, langkah-langkah kebijakan privatisasi di Indonesia selaras dengan sebuah dokumen milik Bank Dunia yang berjudul Legal Guidelines for Privatization Programs. Dalam dokumen ini terdapat panduan bagaimana pemerintah melakukan kebijakan privatisasi dengan menghilangkan persoalan hukum. Pertama, memastikan tujuan-tujuan pemerintah dan komitmen terhadap privatisasi. Kedua, amandemen undang-undang atau peraturan yang merintangi privatisasi. Ketiga, ciptakan institusi yang memiliki kewenangan dalam implimentasi privatisasi. Keempat, hindari kekosongan kewenangan kebijakan privatisasi yang dapat menyebabkan kebijakan privatisasi tidak dapat dijalankan.

Dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008 disebutkan bagaimana lembaga bantuan Amerika Serikat ini bersama Bank Dunia aktif terhadap permasalahan privatisasi di Indonesia. Sementara itu ADB dalam News Release yang berjudul Project Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program tanggal 4 Desember 2001, memberikan pinjaman US$ 400 juta untuk program privatisasi BUMN di Indonesia. ADB menginginkan peningkatan partisipasi sektor swasta dalam BUMN yang mereka sebut bergerak di sektor komersial. Jadi lembaga-lembaga keuangan kapitalis, negara-negara kapitalis, dan para kapitalis kalangan investor sangat berkepentingan terhadap pelaksanaan privatisasi di Indonesia. Sebaliknya rakyat Indonesia sangat tidak berkepentingan terhadap privatisasi. Para kapitalis ini menginginkan pemerintah Indonesia membuka ladang penjarahan bagi mereka. Mereka sebenarnya tidak mengharapkan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia, tapi yang mereka inginkan adalah merampok kekayaan Indonesia.


 

Adapun apa yang sering mereka katakan bahwa privatisasi bertujuan peningkatan efisiensi dan pemberantasan korupsi adalah sangat tidak berdasar. DR. Mansour Fakih (2003) menjelaskan tidak ada kaitan antara korupsi yang terjadi di BUMN dengan pemindahan kepemilikan ke tangan investor. Justru kita menyaksikan malapetaka perekonomian dunia tahun 2001 diawali oleh korupsi besar-besaran yang dilakukan perusahaan raksasa dunia seperti Worldcom dan Enron. Di Indonesia kalangan swasta (kebanyakan warga keturunan) melakukan korupsi besar-besaran dalam bentuk KLBI dan BLBI.

Untuk memberantas korupsi di BUMN bukanlah dengan cara privatisasi melainkan dengan penegakkan hukum yang tegas dan keras tanpa pandang bulu, sebagaimana Nabi Muhammad SAW mengatakan "Hancurnya umat-umat terdahulu adalah tatkala kalangan rakyat jelata melakukan pelanggaran, mereka menerapkan hukum dengan tegas, tetapi manakala pelanggar itu dari kalangan bangsawan, mereka tidak melaksanakan hukum sepenuhnya. Oleh karena itu, sekiranya Fathimah putri Rasulullah mencuri, pasti kopotong tangannya". (HR Ahmad). Sudah menjadi rahasia umum BUMN menjadi sapi perahan para pejabat, politisi, swasta, dan orang dalam BUMN itu sendiri. Kita juga mengetahui saat ini permasalahan korupsi sangat parah dari pemerintahan di pusat sampai tingkat RT, dari DPR pusat sampai DPRD tingkat kabupaten/kota. Namun sampai saat ini belum ada kebijakan yang tegas dan jelas dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi.   

Dalam masalah privatisasi kita harus belajar dari kasus Amerika Serikat dan Cina. AS yang selalu memaksakan agenda neoliberal terhadap negara-negara berkembang dan negara-negara miskin, justru menolak mentah-mentah keinginan BUMN migas Cina CNOOC untuk membeli perusahaan minyak swasta nasional AS UNOCAL . Serempak pemerintah, anggota kongres, dan masyarakat berupaya menggagalkan akuisisi UNOCAL oleh CNOOC. Alasan mereka Cuma satu, yakni akuisisi akan membahayakan national security (keamanan nasional), sebagaimana yang dikatakan Byron Dorgan (senator AS): "UNOCAL berada di AS dan telah menghasilkan 1,75 miliar barrel minyak. Sangat bodoh bila perusahaan ini menjadi milik asing" (Republika, 18/7/2005).

2.2 Privatisasi dalam Pandangan Syariat

Privatisasi merupakan bagian utama program penyesuaian struktural yang dilahirkan di Washington pada tahun 1980. Sehingga privatisasi selalu menjadi agenda globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang diusung oleh IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), AS dan negara-negara kapitalis lainnya, serta para investor. Tujuan program-program politik ekonomi yang mereka usung adalah untuk menjaga kesinambungan penjajahan para kapitalis terhadap negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Syariat Islam melarang para pejabat negara mengambil suatu kebijakan dengan menyerahkan penanganan ekonomi kepada para kapitalis ataupun dengan menggunakan standar-standar kapitalis karena selain bertentangan dengan konsep syariah juga membahayakan negara dan masyarakat. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidak boleh ada bahaya (dlarar) dan (saling) membahayakan" (HR Ahmad & Ibn Majah).

Di samping itu, privatisasi dan program penyesuaian struktural merupakan ide kufur yang tegak di atas paham pemikiran konyol Adam Smith tentang laissez faire. Paham ini menjauhkan pemerintah dari masyarakat dengan meninggalkan tanggungjawabnya sebagai pelayan dan pengatur urusan publik. Kemudian mengalihkan peran pemerintah kepada para kapitalis baik investor asing maupun investor lokal. Liberalisasi ini menyebabkan tergilasnya hak-hak masyarakat sementara para kapitalis terus meningkatkan laba sebagaimana yang dikatakan tokoh ekonomi neoliberal, Milton Friedman dalam tulisannya yang berjudul The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits, bahwa tanggung jawab sosial bisnis adalah mengerahkan seluruh sumber daya untuk meningkatkan akumulasi laba.

Syariat menggariskan pemerintah memiliki peranan kuat dalam perekonomian sehingga tidak boleh berlepastangan terhadap hak-hak rakyatnya. Syariat menegaskan pemerintah harus dapat menjadi pengatur dan pelayan urusan masyarakat (ri'ayatu as-su'un al-ummah) sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW  "Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya". (HR Bukhari dan Muslim). Untuk dapat mengatur dan melayani urusan masyarakat, pemerintah harus memiliki alat dan sarana, salah satunya dengan mendirikan badan-badan yang bertugas mengeksplorasi barang tambang, memproduksi barang-barang vital dan menguasai hajat hidup orang banyak, memproduksi barang-barang modal/mesin yang dibutuhkan masyarakat dalam menjalankan industri  dan kegiatan pertanian mereka, kemudian memiliki lembaga yang menjamin pendistribusian barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Rasulullah saw bersabda: "Seorang imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)" (HR. Muslim).

Privatisasi yang dilakukan pemerintah menyangkut BUMN yang terkatagori harta milik umum dan sektor/industri strategis tidak diperbolehkan syariat Islam. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api". (HR Abu Dawud). Menurut Taqiyuddin an-Nabhani (2002) harta milik umum mencakup fasilitas umum, barang tambang yang jumlahnya sangat besar, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menyebabkan tidak mungkin dikuasai oleh individu. Sedangkan industri strategis adalah industri yang menghasilkan produk/mesin yang dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan sektor perekonomian seperti industri manufaktur, pertanian, trasnportasi, dan telekomunikasi.

Dari alasan-alasan yang dikemukakan Kementerian Negara BUMN, nampak kebohongan publik telah dilakukan untuk memenuhi keinginan-keinginan para kapitalis. Selain itu tidak tertutup kemungkinan ada agenda pengumpulan dana dalam rangka pemilu 2009 sebagaimana dilansir Indonesia Corupption Watch (ICW) bulan lalu. Koordinator Bidang Info Publik ICW, Adnan Topan Husodo mengatakan privatisasi BUMN merupakan sumber dana politik (Republika, 22/1/2008). Cukup sudah kebohongan dan pemerasan harta negara jika tidak ingin mendapat laknat Allah SWT dan Rasul-Nya. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Siapa saja seorang pemimpin yang mengurusi kaum muslimin, kemudian ia meninggal sedangkan ia berbuat curang terhadap mereka maka Allah mengharamkan surga baginya." (HR Bukhari)

2.3 Implementasi Privatisasi Bumn Dan Pengaruhnya Terhadap Nasionalisme

Sejak awal para pendiri bangsa telah menyadari bahwa Indonesia sebagai kolektivitas politik tidak memiliki modal yang cukup untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, sehingga ditampung dalam pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat 2 yang menyatakan "Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara", Secara eksplisit ayat ini menyatakan bahwa Negara akan mengambil peran dalam kegiatan ekonomi.Oleh karena itu selama pasal 33 UUD 1945 masih tercantum dalam konsitusi maka selama itu pula keterlibatan pemerintah (termasuk BUMN) dalam perekonomian Indonesia masih tetap diperlukan. Khusus untuk BUMN pembinaan usaha diarahkan guna mewujudkan visi yang telah dirumuskan. Paling tidak terdapat 3 visi yang saling terkait yakni visi dari founding father yang terdapat dalam UUD, visi dari lembaga/badan pengelola BUMN dan visi masing-masing perusahaan BUMN. Kesemuanya ini harus dapat diterjemahkan dalam ukuran yang jelas untuk dijadikan pedoman dalam pembinaan.

Visi UUD 1945 mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Pengelolaannya diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Visi ini harus diterjemahkan dalam ukuran yang lebih rinci dan kemudian dilakukan identifikasi jenis usaha yang masih perlu dikelola oleh negara, sehingga dapat menghasilkan jenis BUMN yang masuk kategori public service obligation atau PSO yang lebih berorientasi kepada pelauanan publik.

Sungguhpun suatu BUMN masuk kedalam kategori PSO, pengelolaannya harus tetap didasarkan pada prinsip prinsip bisnis. Dalam hal ini harus ada perhitungan yang jelas, berapa biaya produksi per unit yang efisien dan berapa banyak porsi biaya yang harus menjadi beban fiskal dan atau subsidi silang. Kriteria manfaat yang diperoleh rakyat harus jelas dan terukur sehingga dapat dihitung pula sumbangannya terhadap kemajuan tingkat kemakmuran sebagaimana diamanatkan oleh founding father republik ini.

Selanjutnya, BUMN non PSO harus diarahkan dan dibina menjadi perusahaan komersial murni yang sebagian atau keseluruhan kepemilikan sahamnya oleh negara. Dengan prinsip komersial ini, visi BUMN harus diarahkan menjadi perusahaan yang sustainable dengan kinerja diatas rata-rata industri dan secara bertahap bisa berperan dari national player menjadi global player.

2.3.1 Daya Tahan Bumn Menghadapi Krisis

Sejak Indonesia dilanda krisis multidimensi pada pertengahan 1997, hampir semua badan usaha swasta terutama yang berskala besar, milik para konglomerat mengalami kesulitan teramat parah, yang pada umumnya karena beban hutang dalam valuta asing (forex) yang sangat memberatkan. Lain halnya dengan BUMN; karena sebagian besar BUMN ternyata masih dapat bertahan dalam situasi krisis tersebut, karena faktor kehati-hatian dan sikap konservatif yang selama ini diambil, yang justru malahan menyelamatkan dari kehancuran. Dengan pengalihan status ex. Badan Usaha Swasta menjadi BUMN, maka peran BUMN dalam pemulihan ekonomi nasional dari krisis menjadi lebih menentukan lagi.

Sangatlah disayangkan bahwa ternyata citra BUMN selama ini tidaklah begitu baik, antara lain karena dianggap sebagai sarang KKN, sumber pemerasan dari birokrat, tidak membawa manfaat bagi masyarakat banyak maupun sekitarnya, tidak memperoleh hasil/keuntungan kecuali dengan berbagai subsidi, konsesi dan lain-lain yang menyebabkan BUMN memperoleh citra negatif bahkan tidak disukai oleh pemiliknya sendiri, yaitu rakyat Indonesia.

Salah satu kendala yang selama ini dihadapi adalah intervensi dari birokrasi belum lagi ditambah rongrongan dari politisi yang tidak dapat dicegah, karena tidak jelasnya fungsi dan peran masing masing. Pola pengelolaan selama ini masih mengandung berbagai kelemahan dalam menuju kepada good corporate governance.

Dari jumlah k.l. 158 BUMN yang ada saat ini hanya 76 BUMN yang dapat menyetorkan dividen ke APBN 2004, sebesar RP. 7,8 triliun, dimana angka ini turun 47% dari tahun 2003 sebesar Rp. 12,29 triliun. Sedangkan untuk tahun 2005

ditargetkan dividen dari BUMN ini hanya sebesar Rp. 9,42 triliun, sedangkan untuk tahun 2006 sebesar Rp. 12,3 triliun..

Dari realisasi tahun 2004 81,77% dari laba BUMN sebesar Rp. 25,09 triliun diperoleh hanya dari 10 BUMN yaitu Telkom, Bank Mandiri, Pertamina, BNI, BRI, Pusri, Jamsostek, PGN, Pelindo II, dan Astek. Sedangkan jumlah BUMN yang merugi adalah 55 BUMN dengan kerugian sebesar Rp. 6,48 triliun (data 2003), diantaranya 84,87% dari 10 BUMN yaitu PLN, Bulog, PPI, PELNI, PANN, Indofarma, KKA, Industri Sandang, PTPN II, BBI.

Pada masa pemerintahan Megawati. angka Rp. 52 triliun selalu diclaim oleh Menteri Negara BUMN saat itu sebagai sumbangan pendapatan BUMN terhadap APBN 2003 adalah menyesatkan.
Sesungguhnya yang terbesar berasal dari PPh dan PPn (sebesar Rp. 22,1 triliun), dividen (sebesar Rp. 12,29 triliun) RDI (sebesar Rp. 9,2 triliun) dan privatisasi (sebesar Rp. 7,8 triliun). RDI sebenarnya adalah merupakan pengembalian hutang BUMN kepada Pemerintah jadi bukan termasuk pendapatan. Salah satu upaya untuk memperbaiki kinerja BUMN adalah melalui privatisasi , tentunya setelah disiapkan berbagai perbaikan didalamnya sehingga ?layak jual?.

2.3.2 Pola Dasar Privatisasi

Konsep privatisasi seharusnya diarahkan terutama untuk kepentingan perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya, tidak semata-mata untuk menutup APBN. Untuk pengembangan usaha, perusahaan memerlukan tambahan modal dan salah satunya berasal dari penerbitan saham yang dijual ke publik. Dengan tambahan modal tersebut perusahaan mempunyai kapasitas untuk meminjam sehingga dimungkinkan untuk memperoleh dana pinjaman dari kreditur. Kombinasi dari modal intern dan ekstern ini memungkinkan perusahaan mengembangkan usahanya ke peningkatan volume, penciptaan produk dan atau jenis usaha yang dinilai feasible sehingga volume pendapatannya meningkat yang pada gilirannya dapat meningkatkan laba perusahaan.

Pengembangan usaha berarti juga peningkatan lapangan kerja. Dengan usaha baru terdapat posisi tenaga kerja yang harus diisi. Pengisian tenaga pada posisi baru tersebut dapat berasal dari intern atau ekstern perusahaan. Dengan cara seperti ini akan terjadi penciptaan lapangan kerja baru.

Pola privatisasi seperti itu juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Tambahan modal yang masuk ke perusahaan dapat dipakai untuk menciptakan value added, yang berasal dari peningkatan kegiatan usaha, yang pada akhirnya akan menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Privatisasi yang hanya berupa pengalihan saham pemerintah ke pihak lain tidak berdampak langsung pada perusahaan karena tidak mempengaruhi besarnya modal. Yang terjadi adalah perpindahan kepemilikan dari perusahaan tersebut. Dengan pemindahan kepemilikan saham tersebut, hak penerimaan deviden berubah dari pemerintah ke pemilik baru. Sementara itu penerimaan hasil penjualan saham masuk ke APBN yang akan habis dipakai untuk tahun anggaran dimaksud. Dalam jangka pendek mendatangkan cash akan tetapi dalam jangka panjang merugikan APBN karena penerimaan deviden akan berkurang pada tahun-tahun berikutnya.

Privatisasi hendaknya diarahkan dengan cara menjual saham negara (divestasi)dan sekaligus menjual saham baru (dilusi). Denga cara ini, negara dan perusahaan mendapatkan uang kas yang bermanfaat untuk menggerakkan ekonomi. Dengan asumsi kekuatan penyerapan pasar yang sama, investor dapat memperoleh jumlah saham yang sama tetapi dari dua sumber saham yaitu saham yang sudah ada dan saham baru yang diterbitkan. Sebagai akibatnya, jumlah saham negara menjadi lebih kecil dan modal perusahaan menjadi lebih besar.

Disamping itu, penjualan saham hendaknya ditujukan kepada banyak potensial investor sehingga negara masih menjadi majority tetapi tidak dapat lagi melakukan kontrol sepenuhnya terhadap perusahaan tanpa persetujuan pemegang saham lain. Dengan cara ini, pengendalian publik atau mekanisme check and balance tetap berjalan sehingga pengawasan kepada management dapat dilakukan sebagaimana mestinya. Penjualan kepada single majority tidak selayaknya dilakukan khususnya untuk perusahaan-perusahaan yang tergolong vital, karena dalam jangka panjang dapat menimbulkan resiko bagi negara dalam mengelola hajat hidup orang banyak yang harus ditangani oleh BUMN. Variasi investor yang membeli saham diprioritaskan berasal dari karyawan, rakyat banyak melalui investment fund, public, institutional investor, financial investor, dan strategic investor. Dengan variasi investor ini memungkinkan saham negara terdilusi tetapi masih menjadi mayoritas.

Penjualan saham kepada strategic investor menimbulkan resiko kemungkinan terjadinya KKN, walaupun itu dilakukan dengan cara tender terbuka, syak wasangka akan tetap muncul. Dalam proses tender ini, faktor akses ke pemutus menjadi salah satu kunci dalam memenangkan tender. Dengan mekanisme dan kriteria apapun, tetap ada resiko permainan antara peserta tender dengan pemutus tender. Sebaliknya penjualan saham kepada publik yang jumlah investornya banyak tidak memerlukan proses tender dan hanya melaui proses penjatahan yang berlaku umum dengan jumlah investor relatif banyak.

Pola privatisasi ini juga dapat dipakai untuk saran pemerataan kepemilikan asset nasional yang tidak selayaknya dikuasai oleh kelompok minoritas tertentu.

Pemangku kepentingan (stakeholders) BUMN terdiri dari banyak pihak yang tidak hanya politisi saja, tetapi juga karyawan, pelanggan, dan regulator teknis dibidangnya. Pihak-pihak yang termasuk dalam stakeholders ini hendaknya juga diberi kesempatan untuk memberikan masukan dalam proses privatisasi. Dengan melibatkan segenap stakeholders, diharapkan proses privatisasi mendapat dukungan dari banyak pihak sehingga proses privatisasi tidak menimbulkan kontroversi tetapi justru dapat dipakai untuk memperbaiki image positif yang terbentuk karena pola privatisasi memberi manfaat kepada banyak stakeholder, pemerataan, dan pengawasan banyak investor atas perjalanan usahanya.

Sesungguhnya kesemuanya ini telah diamanatkan oleh rakyat melalui wakil-wakil di MPR dengan ditetapkannya Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 ? 2004 yang telah mengamanatkan agar dilakukan penyehatan BUMN terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum. BUMN yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum didorong untuk privatisasi melalui pasar modal. Disamping itu privatisasi sebagai bagian dari kebijakan publik diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan sector publik. Privatisasi juga dinyatakan sebagai salah satu kebijakan strategis yang dilakukan oleh manajemen BUMN untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan badan usaha milik negara. Pelaksanaan privatisasi diharapkan dapat menciptakan good corporate governance dilingkungan badan usaha milik negara sekaligus juga mewujudkan good public governance di sektor publik..

Privatisasi, dalam perspektif nasionalisme memegang peranan penting dalam pembangunan perekonomian nasional. Penjualan asset publik kepada pihak swasta mengurangi peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya public kepada masyarakat. Orientasi pembangunan yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi yang pesat menuntut partisipasi pihak swasta dan asing untuk secara aktif terlibat dalam proses pembangunan nasional.

Pertimbangan dan tujuan dari privatisasi dari setiap negara berbeda-beda, pertimbangan aspek politis yang utama dari privatisasi mencerminkan adanya kesadaran bahwa beban pemerintah sudah terlalu besar, sementara sektor swasta lebih dapat melakukan banyak hal secara efisien dan efektif dibandingkan dengan lembaga pemerintah dan kegiatankegiatan yang terkait bisnis.

Pandangan dari sisi manajemen puncak perusahaan, tujuan privatisasi lebih ditekankan kepada manfaat terhadap pengelolaan perusahaan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Melalui privatisasi diharapkan akan dapat tercipta adanya keterbukaan pengelolaan perusahaan serta terbentuknya budaya displin organisasi yang tinggi disamping akan diperolehnya sumber pendanaan yang lebih murah bagi pengembangan perusahaan. Sementara itu dari sisi karyawan dapat timbul pandangan dan kekhawatiran akan kemungkinan hilangnya pekerjaan. Karena setelah diprivatisasi perhatian terhadap faktor efisiensi dan produktivitas karyawan akan sangat menonjol sehingga kemungkinan untuk diberhentikan karena tidak produktif, dapat setiap saat terjadi. Namun pada umumnya kekhawatiran ini diimbangi adanya peluang mendapatkan kepemilikan saham melalui employees stock ownership plan (ESOP) yang sebelumnya tidak pernah mereka dapatkan.

Privatisasi sebagai salah satu isu yang sangat penting dalam upaya mewujudkan demokratisasi ekonomi yang melibatkan pihak swasta baik swasta nasional maupun asing, untuk secara aktif terlibat dalam proses pembangunan. Peran swasta diharapkan dapat pula ditingkatkan melalui privatisasi BUMN. Hasil positif yang ditunjukkan dalam privatisasi misalnya PT Telkom Tbk, seharusnya akan dapat mendorong pemerintah untuk segera melakukan privatisasi, dengan tetap memperhatikan fungsi pemerintah sebagai regulator. Iklim usaha yang kompetitif dapat diantisipasi dengan mengurangi peran pemerintah yang cenderung monopolistik agar pelayanan publik yang diberikan dapat lebih efisien.


 

BAB III Kesimpulan Dan Saran

3.1 Kesimpulan

BUMN yang ada haruslah diselamatkan dan dikelola secara professional, sehingga mampu menjadi pilar dan pendorong perekonomian Nasional dan penciptaan lapangan kerja baru. BUMN dengan asset seluruhnya kurang lebih Rp. 1.000 triliun, seharusnya mampu meringankan beban Negara dengan memberikan dividen dalam jumlah yang memadai, minimal 5% dari total asset, atau kurang lebih Rp. 50 triliun. Ditambah lagi pendapatan dari pajak dan program divestasi secara selective dan transparan, sehingga dapat memberikan kontribusi yang significant kepada RAPBN.

Proses Privatisasi BUMN hendaknya dilakukan secara cermat, dan bermanfaat dengan memperhatikan timing yang tepat dengan kriteria yang jelas BUMN mana saja yang boleh di privatisasi. Privatisasi hendaknya diarahkan dengan cara menjual saham baru dan Pemerintah dapat ikut ?membonceng? menjual saham lama . Dengan cara ini, pemerintah dan perusahaan sama-sama mendapatkan dana segar yang bermanfaat untuk menggerakkan ekonomi.

Penjualan kepada single majority tidak selayaknya dilakukan karena dalam jangka panjang dapat menimbulkan resiko bagi negara dalam mengelola hajad hidup orang banyak yang harus ditangani oleh BUMN. Variasi investor yang membeli saham diprioritaskan berasal dari karyawan, rakyat banyak melalui investment fund, public, institutional investor, financial investor, dan strategic investor. Dengan variasi investor ini memungkinkan saham pemerintah terdilusi tetapi masih menjadi mayoritas.

Apabila BUMN setelah privatisasi ataupun berubah status menjadi Perseroan Terbuka dan kepemilikan pemerintah kurang dari 50%, maka mulailah berubah menjadi perusahaan swasta, namun pengendaliannya masih tetap dapat dilakukan oleh pemerintah. asalkan saham seri A (prefered stock) masih tetap menjadi milik Pemerintah.

Melalui privatisasi diharapkan akan dapat pula merubah citra BUMN menjadi sebuah commercial entity yang dicintai dan didukung oleh pemiliknya (rakyat Indonesia) dengan membebaskan dirinya dari intervensi birokrat, menghilangkan KKN dalam internal managementnya, dan memegang teguh prinsip Good Corporate Governance din seluruh jajaran, dari pimpinan tertinggi sampai terbawah.

    Perlu dilakukan re-posisi, pengelompokan/ klasifikasi BUMN sesuai dengan kelompok bisnis-nya disamping klasifikasi BUMN yang harusnya menciptakan profit dan yang melayani masyarakat Tentu saja kementrian atau badan pengelola BUMN harus mampu membina masing-masing perusahaan untuk mencapai visi barunya dari hasil analisa reposisi dimaksud. Dengan reposisi, dimungkinkan dibentuknya holding untuk perusahaan BUMN sejenis dan kemungkinan merger untuk mencapai tingkat efisiensi yang optimal.    


 

Rencana pengelompokan BUMN kedalam Holding perlu mendapat pertimbangan.


 

Keuntungan dari pengelompokan ini antara lain:

a) Mampu menciptakan sinergi diantara anggota holding, sehingga mampu mendongkrak bottom line dan nilai Perusahaan.

b) Meningkatkan kekuatan tawar (bargaining power)

c) Mampu berkembang lebih cepat ber sama-sama

d) Mampu bersaing menghadapi korporasi dari luar terutama dalam menghadapi era globalisasi.

e) Mampu menghela SME dan koperasi untuk memajukan ekonomi rakyat.


 

Demikianlah beberapa pemikiran untuk dapat dijadikan bahan pembahasan perumusan pengelolaan BUMN yang baik.


 

3.2 Saran

Privatisasi bukanlah solusi bagi Indonesia tetapi merupakan sebuah ancaman bagi eksistensi pelayanan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kemandirian negara. Sudah saatnya pemerintah dan rakyat bersatu membangun negara ini untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah.


 

DAFTAR PUSTAKA


 


 

Dikutip dari berbagai resensi yang dianggap mengulas masalah tentang Privatisasi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar